Memaafkan adalah salah satu pekerjaan yang susah-susah gampang. Saya sendiri bukan termasuk tipe yang mudah memaafkan orang lain. Kalau hanya maaf dimulut mudah sekali memang, tetapi seringkali hati ini tidak mau dengan mudah memaafkan. Apa pasal? Saya juga tidak tahu. Tetapi mungkin karena untuk memaafkan itu dibutuhkan kualitas keikhlasan tingkat tinggi, yang sampai saat ini bagi saya baru sebatas mimpi. Padahal, katanya, memaafkan itu juga adalah sebuah proses pembebasan diri kita. Pembebasan dari belenggu amarah yang, tanpa disadari, seringkali malah merugikan kita sendiri.
Kalau bisa diumpamakan, memaafkan itu sama seperti memberi sedekah kepada seorang pengemis yang sering mangkal di lampu-lampu merah. Saya termasuk orang yang sangat jarang memberi sedekah (jarang sedekah kok bangga). Karena seringkali pikiran saya dipenuhi prasangka buruk atas para pengemis tadi. Mulai dari pura-pura, malas, terkadang juga malah menjadi jengkel karena mereka terkesan mempermainkan perasaan iba saya. Suatu saat , entah bagaimana dan kenapa, saya mencoba sesekali memberi sedekah, walau hanya Rp 100, ketika berada di lampu merah. Tapi kali ini saya mencoba untuk melakukan sedekah plus-plus. Yaitu memberi sedekah dengan cara yang humble dan mencoba memasang senyum sembari menatap si pengemis . Tahu apa yang terjadi?. Luar biasa, ternyata si pengemis menanggapinya dengan sangat baik. Dia mengucapkan terima kasih dengan senyum yang tulus, sangat tulus. Lebih luar biasa lagi, ternyata perasaan saya pun tidak kalah gembiranya. Gilaa, hanya memberi sekeping uang seratus rupiah ditambah sedikit senyum saja saya sudah bisa mendapatkan balasan senyuman dan terimakasih yang jauuuuh lebih tulus daripada senyuman saya. Perasaannya tidak terbayangkan, sungguh menyenangkan. Namun karena dasar saya orang-orang yang benar-benar tidak konsisten, perbuatan semacam itu tidak saya lakukan setiap hari. Selalu saja prasangka buruk menghinggapi.
Seperti itu pula kira-kira sebuah proses memaafkan, menurut saya. Saya sering berprasangka buruk kepada orang yang telah -saya anggap- berbuat salah kepada saya. Saya sering berpikiran bahwa orang itu begitu terkutuknya dan memang dasarnya kurang ajar, sehingga jika saya maafkan kali ini toh suatu saat dia akan mengulangi hal yang sama. Kadang juga karena saya merasa lebih baik, lebih mulia, sama seperti ketika saya merasa lebih mulia dari para pengemis jalanan. Seringnya ketika orang tersebut meminta maaf, saya memaafkan tapi hanya dalam batas kata-kata saja. Di dalam hati saya tetap saja tidak bisa memaafkan orang tadi. Seperti halnya sedekah plus-plus tadi, soal memaafkan pun saya pernah mencobanya, tapi untuk hal ini saya pilih-pilih. Seringkali orang-orang yang bisa saya maafkan hanyalah orang-orang yang dekat dengan saya. Rasanya sama-sama menyenangkan. Tapi mungkin ini lebih karena saya pun membutuhkan mereka dibandingkan sebuah perasaan ikhlas ya?.
Selain itu, proses memaafkan juga bisa dikatakan sebagai sebuah proses memberi kesempatan (an act of giving one another chance). Saya kira, memberi orang lain kesempatan adalah sebuah pemberian yang paling berharga yang bisa diberikan seorang manusia kepada manusia lainnya. Memberi orang lain kesempatan adalah suatu wujud kepercayaan kita terhadap potensi kebaikan yang ada didalam diri manusia. Dengan kata lain kita juga percaya akan nilai-nilai Ilahiah yang secara default memang sudah ada dalam diri manusia. Itulah sebuah arti maaf, dimana kita memberikan kesempatan kepada orang lain yang meminta maaf kepada kita untuk memperbaiki kesalahannya dan untuk kemudian menjadi manusia yang lebih baik. Bayangkan, dengan memberi maaf kita tidak hanya memberi kebebasan bagi diri kita tetapi juga memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sayangnya, saat ini dengan begitu banyaknya cerita-cerita tentang kecurangan-kecurangan yang terjadi sehari-hari (daging gelonggongan, sambel palsu, pengemis yang pura-pura luka, dll) sepertinya kita mulai kehilangan kepercayaan terhadap potensi kebaikan yang ada didalam diri manusia. Sering yang lebih dulu muncul adalah perasaan curiga.
Bagaimana dengan saya? Saya sendiri sampai saat ini masih berusaha untuk menjadi orang yang bisa memaafkan dengan ikhlas. Tetapi perjalanan ke arah situ masih jauuuh, karena saya sebenarnya masih memiliki utang permohonan maaf kepada orang lain yang sungguh begitu banyak. Saya kira, sampai saat ini, saya lebih sering berbuat salah kepada orang lain ketimbang saya disalahi orang lain.
Lagipula, saat ini saya masih perlu untuk memaafkan diri saya sendiri. Suatu proses yang sepertinya butuh satu tulisan sendiri. Tapi nggak janji ah.
Andaikan saja kita semua bisa saling ikhlas memaafkan, dunia ini pasti akan jaauuuuhhh lebih menyenangkan untuk ditinggali.
Ayooo damai dooong!!